LUKISAN.......MENANGIS

Malam itu, Yeyen baru pulang dari kantornya. Dia segera menemui anak simata wayangnya yang kebetulan belum tidur.

"Hei sayang.......kok belum bobo, apa yang kamu kerjakan, nak ?" sapa ibu itu dengan lembutnya.

Perlahan si ibu menghampiri anaknya yang dari tadi cuma diam saja.

"Oooo...lagi lihat gambar ya?" tanya ibu.

"Iya ma, Tadi pagi Ibu guru menyuruh kami membuat gambar tentang ORANG-ORANG TERSAYANG dan ini hasilnya" si anak itu bercerita sambil memperlihatkan hasil karyanya.

"Bagus sekali.... Ini gambar siapa, nak?" tanya si ibu.

"Yang sebelah kanan gambar bibi ijah, yang tengah gambar aku dan yang sebelah kiri si wiwi boneka kasayanganku" si anak mencoba menjelaskan kpd ibunya.

"Gambar mama dan papa mana?" tanya si ibu lagi

"Tidak ada" jawab anak

"Kenapa?" si ibu terus bertanya

Dengan polosnya si anak menjawab "Mama dan papa kan jarang dirumah, jadi tidak aku gambar"

Si ibu pun tersentak, air matanya pun mengalir, dia sadar jika selama ini mereka (dia dan suaminya) jarang berada dirumah. Perhatian kepada pekerjaannya telah mengalahkan perhatiannya kepada anaknya.

TV, boneka/mainan dan pembantu telah mengambil peranan mereka sebagai orang tua.

Sekarang bagaimana dengan kita......
Apakah rela jika peranan kita sebagai orang tua akan diambil alih oleh yang lain ?
Inginkah Anda dilupakan oleh anak Anda sendiri ?


Ibu VS Ulat Bulu


Siang itu si Ibu muda sibuk memasukkan tanah ke dalam pot , dia tidak ingin bunga yang baru dibelinya akan layu/mati jika tidak segera ditanam.

Setiap hari bunga tsb disiram dan dirawat dengan penuh keseungguhan, agar kelak bunga itu bisa mekar dengan indahnya.

Tetapi....... dia kecewa, kesal dan marah sekali......KENAPA?

Bunga harapannya kini dipenuhi oleh si ulat bulu, daun-daunya kini rusak, berlubang.....

"Dasar si ulat bulu!!! pengganggu saja....menyebalkan......bikin capek......huh..!!!!!" ketus si ibu.

Dengan sikap kasar diambilnya bunga itu, kemudian dia letakkan didalam gudang belakang.

"Rasakan tuh kamar gelap......biar mampusssssssss" si ibu tak berhenti ngomel.

Bebarapa hari kemudian, si ibu bermaksud membuang bunga yang nyaris terlupakan itu ke tempat sampah.

Ketika pintu gudang dibuka, alangkah terkejutnya dia..................

"Masya Allah...............................! Subhanallah........!"

Ratusan kupu-kupu berwarna-warni keluar dari gudang itu

"Indah sekali!"

Ulat bulu yang selama ini dianggapnya menyebalkan, ternyata menjadi sesuatu yang sangat menyenangkan.........

"Astagfirullah, ampuni hambamu ini ya Allah yang selama ini selalu salah sangka dan menyia-nyiakan makhluk Engkau....."

PEMBACA !!! INI CUMA ILUSTRASI......

ANAK BAGAI SI ULAT BULU

KADANG MENJENGKELKAN, MENYEBALKAN, MENGGANGGU SAJA, MERUSAK KESENANGAN dsb.

KITA HARUS SABAR DAN BERLAPANG DADA KETIKA MEMBESARKAN ANAK-ANAK KITA.

KELAK MEREKA AKAN MENJADI KUPU-KUPU YANG INDAH disaat KITA TUA NANTI.....

Tata Warna Kain Sasirangan



Pada waktu dulu, ketika kain sasirangan masih bernama kain pamintan, sesuai kondisi pada zamannya, zat warna diambil dari alam sekitar. Teknologinya sederhana, didasarkan atas pengalaman dan tradisi yang bersifat turun-menurun.

Alam lingkungan hidup sekitar rumah tangga memberikan kemudahan bagi pengolah kain sasirangan untuk mengolah warna dalam berbagai corak, namun tentu saja masih sangat terbatas. Pada umumnya warna-warna yang diperoleh dari alam adalah warna-warna pokok saja, seperti:

1. Kuning berasal dari umbi tanaman janar (kunyit) dan temulawak.

2. Merah berasal dari zat gambir buah mingkudu, kesumba atau lombok merah.

3. Hijau berasal dari daun pudak atau jahe (tipakan)

4. Hitam berasal dari kabuau atau uar.

5. Ungu berasal dari biji ramania (gandaria) atau buah karamunting.

6. Coklat berasal dari uar atau buah rambutan.

Dari enam macam warna pokok tersebut berdasarkan pengalaman yang sudah turun-temurun, dicampur dengan berbagai rempah-rempah, dengan tujuan untuk mengawetkan warna, menjamkan warna atau mengubah warna menjadi lebih muda. Rerempahan yang dipergunakan pada waktu dahulu adalah seperti uyah (garam), jintan, sahang (lada), pala, cengkeh, limau nipis (jeruk), kapur, tawas, cuka atau terusi.

SEJARAH KAIN SASIRANGAN



Pada mulanya dikenal adanya Kain Pamintan. Istilah pamintan ini adalah singkatan dari parmintaan (permintaan), maksudnya adalah selembar kain putih yang diberi warna tertentu dengan motif tertentu pula atas permintaan seseorang yang berobat pada seorang pengrajin kain pamintan. Dengan menggunakan kain pamintan tersebut maka diharapkan penyakitnya akan menjadi sembuh.

Kain pamintan tersebut berfungsi sebagai sarana pengobatan atas petunjuk seorang tabib sebelumnya. Berbagai macam penyakit dari seorang atau keluarganya yang sakit, seperti sakit perut, sakit kepala, bisul, sawan, badan panas dingin, kapingitan, bahkan sampai pada penyakit gangguan jiwa serta sakit yang disebabkan oleh gangguan makhluk halus atau gangguan roh jahat.

Penyakit yang diderita tersebut tidak kunjung sembuh, dan bahkan telah menjadi kronis.

Pengobatan alternatif yang bersifat non medis ini disebut “batatamba” dengan menggunakan kain pamintan, yang dipakaikan secara berkala.

Diantara terapinya atas petunjuk tabib adalah kain pamintan tersebut diikatkan dikepala pada waktu senja untuk beberapa saat (ukuran waktu sapanginang = selama makan sirih) bagi yang menderita sakit kepala kronis.

Kain pamintan diselimutkan pada seluruh badan pada waktu tidur malam hari, bagi yang berpenyakit selalu menderita demam. Kadang-kadang juga kain pamintan tersebut dijadikan sarung.

Anak-anak yang sering sakit, seperti kapidaraan, kapuhunan dan selalu menangis, dibikinkan ayunan dari kain pamintan. Karenanya dikenal adanya ayunan laki untuk anak laki-laki dan ayunan bini untuk anak bini-bini.

Kain pamintan tersebut juga dipergunakan sebagai laung ikat kepala bagi penderita gangguan jiwa atau sakit karena gangguan makhluk halus. Juga dikenal adanya laung laki untuk anak laki-laki dan laung bini untuk perempuan.

Dalam proses pengobatan, nasehat tabib, proses pembuatan kain pamintan serta pemakaiannya sebagai terapi, dilaksanakan agak tertutup, artinya tidak terbuka secara umum.

Pada waktu dulu tidak semua orang bisa menjadi pengrajin kain pamintan, karena umumnya sebagai keterampilan yang bersifat keturunan, sehingga keterampilan tersebut tidak mudah dinalarkan kepada sembarang orang lain.

Persyaratan lainnya adalah pada adanya tuntutan tradisi yang mengharuskan diadakannya upacara selamatan sebelum memulai membikin kain pamintan tersebut. Upacara selamatan itu adalah dengan mengadakan sesajian berupa kue 9wadai) khas Banjar seperti nasi lamak berbentuk gunungan yang dipuncaknya ada telor masak, hinti gula habang, kukulih dengan air gula habang, ditambahi pisang mahuli, segelas kopi manis dan kopi pahit, disertai dengan perapian yang ditaburi dupa yang berbau harum. Setelah dibacakan do’a selamat, sesajian wadai-wadai bahari itu dapat dimakan bersama.

Selesai upacara selamatan tersebut, barulah dimulai merancang pengolahan kain pamintan.

Perkembangan zaman yang semakin maju dengan adanya sarana dan prasarana sektor pendidikan dan kesehatan serta faktor agama Islam, sangat berpengarauh dengan tradisi sementara masyarakat Banjar dengan cara batatamba (berobat) dengan mempergunakan kain pamintan ini.

Dalam proses pembuatan kain pamintan pada waktu dulu itu terjadi tiga rangkaian yang saling berkaitan. Pertama, adanya seseorang yang sakit. Kedua, adanya tabib yang memberikan nasehat kepada si sakit untuk menyediakan kain pamintan sebagai terapi pengobatan (tatamba), dengan tujuan kesembuhan. Ketiga, adanya pengrajin yang mampu membikinkan kain pamintan sebagai sarana pengobatan tersebut berdasarkan pesanan. Pertama, kedua dan ketiga pihak tersebut berproses secara tertutup, yang tidak terbuka secara umum.

Pengrajin yang sudah berpengalaman beberapa tahun, dia akhirnya sudah sangat terampil dalam membuat kain pamintan untuk keperluan pengobatan (tatamba) tersebut. Dari jenis penyakit tertentu dia sudah hafal, corak kain pamintan mana yang akan dibuat. Sehingga pada akhirnya, baginya tidak memerlukan lagi adanya arahan yang berasal dari seorang tabib sebelumnya. Para penderita penyakit biasanya juga secara langsung saja memesan kain pamintan kepada pengrajin dengan menyebutkan jenis penyakit yang dideritanya. Dari situ pengrajin sudah berungsi ganda, yaitu menentukan terapi penyakit, sekaligus sebagai pengrajin pembuat kain pamintan.

Pada saat ini sudah jarang sekali ditemukan orang Banjar yang batatamba dengan kain khas Banjar tersebut.

Kain khas Banjar yang sekarang dikenal dengan istilah “Kain Sasirangan” telah dilirik dengan serius dalam aspek bisnis, disamping upaya pelestariannya dalam kaca mata budaya. Penulis buku ini tidak sependapat dengan sebutan “Batik Banjar” atau “Batik Kalimantan Selatan”, tetapi tetap dengan nama “Kain Sasirangan Khas Banjar”. Telah sejak lama bermunculan usaha-usaha pengrajin kain sasirangan, terutama dikota Banjarmasin dan Martapura. Pada tahun 2006 telah tercatat jumlah pengrajin kain sasirangan dalam kota Banjarmasin sebanyak 40 pengusaha sebagai industri rumah tangga.

Para pengrajin sasirangan ini pada umumnya berfungsi ganda, yaitu sebagai pengrajin dan juga sebagai penjual kain khas Banjar tersebut. Bahkan diantaranya, dirumah mereka telah tersedia busana yang telah siap pakai.